Hanya aku yang berharap



Tidakkah ada satupun yang merasakan hal yang sama denganku? Hari-hari berlalu dengan cepat semenjak engkau pergi, aku lewati seorang diri dengan kesunyian. Kesendirian membuat diriku merasa kosong dan hampa berada di kota yang ramai. Pada malam, aku berjalan menyusuri tengah kota. Melewati jembatan layang dan memperhatikan jalanan yang amat sibuk. Angin berhembus menusuk kulitku, dinginnya malam sungguh membuat memoriku ditarik oleh masa lalu yang kejam. Malam ini telah berbeda, bukan lagi malam-malam yang dulu kudambakan.
Ingatkah kamu, saat setelah kita menghabiskan waktu bersama dan pulang menyebrang melewati jembatan layang ini? Aku ingat sekali senyum indahmu pada malam itu, kamu menggenggam tanganku seperti tidak ingin membiarkanku pergi. Matamu menatap wajahku jauh dan dalam seolah berkata ‘tetaplah bersamaku’, mataku menjawab ‘ya, aku akan tetap bersamamu bagaimanapun itu’. Kau tetap memandangiku dan mendekatkan wajahmu ke wajahku. Tanpa kita sadari bibir kita sudah bertemu dan kita saling memejamkan mata. Aku kembali menyaksikan jalanan yang sibuk dari atas sini. Aku tersenyum bahagia pada mobil-mobil yang lewat dibawahku. Kemudian tanganku menguatkan genggaman eratmu dan menyandarkan kepala dipundakmu. Malam itu aku sangat bersyukur dan merasa menjadi sosok yang paling beruntung. Malam itu sangatlah sempurna untuk digambarkan.
Satu minggu setelah malam yang kudambakan, tidak ada lagi kabar, tidak ada lagi notifikasi pesan darimu. Aku menunggunya sejak pagi, menanti ucapan selamat pagi lewat pesan singkat dengan emotikon cium darimu. Perasaan gelisah menguasai pikiran dan hatiku. Aku selalu bertanya-tanya sepanjang hari. Terlalu banyak tanya yang kupertanyakan. Apa yang membuatmu menghilang? Tak pantaskah lagi aku menjadi bagian dari hari-harimu? Kita memang belum menjadi kekasih. Tapi ketakutan itu timbul begitu besar. Atau memang hanya aku yang terlalu berharap?
Salahkah aku menaruh harapan-harapan pada dirimu? Membangun mimpi-mimpi hebat setelah beberapa minggu aku bersamamu. Begitu singkat pertemuan kita namun tidak dengan sebuah kenangan yang telah kita ukir. Kenangan itu begitu indah ketika diukir oleh tanganmu yang begitu mahir memahat. Saat dimana kamu duduk disampingku, tak banyak bicara namun mata indahmu itu tidak pernah lepas memandangiku. Aku mengagumi caramu memandangku. Kau menggenggam tanganku erat seolah tak mengizinkanku pergi. Aku yang terbiasa mentertawakan lelucon-leluconmu, kini tidak ada lagi kehangatan yang kurasakan. Memasang telinga yang selalu sedia untuk mendengarkan seluruh keluh kesahmu. Menikmati kecupan kening yang selalu engkau titipkan pada dahiku setiap kita hendak berpisah. Semua yang telah kulalui bersamamu adalah bagian favorite-ku dari seluruh bagian hidupku.
Kehadiran wanita itu cukup menjawab semuanya. Kau pergi dan menghilang karena kau telah menemukan seseorang yang kau cintai. Aku menyadari bahwa aku bukanlah yang kamu inginkan, aku bahkan tak berhak mencaci dirimu, menuntut sebuah keadilan perasaan. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku tidak memiliki hak untuk marah. Entah bagaimana aku harus menguburkan perasaan yang telah dalam ini. Kejadian ini membuatku hilang selera akan cinta. Lupa akan rasanya mencintai dan dicintai. Dan membuatku mengambil kesimpulan, semua hal yang berbau cinta ialah omong kosong dan mitos belaka. Sanggupkah aku menjalani hari demi hari ini tanpamu?

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer